Rabu, 16 Desember 2009

Ravi Shankar, Sitar Player Dari India


Ravi Shankar (lahir 7 April 1920, di Varanashi, Uttar Pradesh, India) adalah seorang komposer India yang terkenal karena kepiawaiannya memainkan sitar.
Ia adalah murid dari Allauddin Khan (pendiri sekolah musik klasik India, Maihar gharana), Ravi Shankar adalah seorang instrumentalis India yang terkenal dengan karya rintisannya yang membawa kekuatan dan pesona musik klasik tradisi India ke dunia Barat. Ini dilakukan melalui kerjasamanya dengan The Beatles khususnya George Harrison dan juga karena kharisma pribadinya sendiri. Karier musiknya merentang selama lebih dari enam dekade dan Shankar baru-baru ini memegang Rekor Guinness untuk karier internasional terlama.

"Ravi Shankar has brought me a precious gift and through him I have added a new dimension to my experience of music. To me, his genius and his humanity can only be compared to that of Mozart's."
- Yehudi Menuhin


"Ravi Shankar is the Godfather of World Music"
- George Harrison


Artist: Ravi Shankar
Album: The Spirit Of India
Genre: Instrumental, Indian
Format: mp3
Quality: 320 Kbps
File Size: 127.76 MB
Track list:
Raga Jogeshwari (50:07)
1. Alap
2. Jor
3. Gat I (Tala: Jhap-tal)
4. Gat II (Tala: Ek-tal)
Raga Hameer (24:22)
5. Alap – Gat I (Tala: Tin-tal) – Gat II (Tala: Tin-tal)
Download

Jumat, 27 November 2009

Butet Kertarajasa, Seniman Monolog


Butet Kertaradjasa lahir di Yogyakarta, 21 November 1961. Ia adalah seorang aktor teater kawakan yang mengaku dibesarkan oleh pangung teater dan kerap menampilkan pentas monolog, yaitu sebuah penampilan tunggal diatas pangung dengan membawakan beberapa karakter seorang diri.

Butet sendiri adalah anak dari Bagong Kussudiardja (Alm), seorang koreografer dan pelukis Yogyakarta. Dan juga kakak dari seniman Djaduk Ferianto, yang mengeluti musik etnik.

Kepiawaian dan 'keberaniannya' menirukan suara mantan Presiden Sueharto dalam pementasan teternya, membuat Butet menjadi icon perlawanan lewat pangung seni. Pementasan-pementasan yang dibawakannya pun banyak bersentuhan dengan kritik dan kekuasaan. Di antaranya, Racun Tembakau, Lidah Pingsan, Benggol Maling, Raja Rimba Jadi Pawang, Iblis Nganggur, Mayat Terhormat, Guru Ngambeg, Republik Togog dan tebaru, Matinya Tukang Kritik.


Kini, selain masih tetap eksis di pangung teater, Butet tampil rutin memerankan karakter (raja) SBY (Si Butet Yogja) dalam Republik Mimpi di Metro TV. SBY yang diperankannya adalah pameo dari presiden RI, SBY.


Mungkin Butet bukan aktor pertama yang melakukan monolog. Tokoh-tokoh klasik macam Basiyo, Cak Durasim hingga Bing Slamet adalah beberapa nama yang mampu menciptakan ruang serupa. Kemampuan panggung atau akting tunggal ini, entah dapat disebut apa. Butet condong menyebutnya sebagai monolog, dalam tekanan yang lebih berat pada dramaturgi teatrealnya. Walau dari sisi bentuk, isi hingga modus realsinya dengan penonton, ia sulit dibedakan dengan one man show atau standing comedy di atas.

Tapi, apa pun namanya, ia menjadi tak begitu penting ketimbang peran, fungsi, bahkan posisi tawarnya di depan publik. Apa yang dilakukan Butet bisa jadi sama nilai kulturalnya dengan apa yang dilakukan Azhar Usman di Amerika Serikat. Urusan dramaturgi teateralnya, kadang justru menyesatkan atau menjebak seseorang dalam pakem atau simbolisasi yang alienatif dan beresiko mengasingkan publik penontonnya sendiri.

Ia banyak berproses bersama beberapa kelompok teater, seperti Teater Kita-Kita, Teater Dinasti, Teater Gandrik, juga terlibat dibeberapa pementasan Teater Koma dan Teater Mandiri. Di film, ia terlibat dalam produksi film Petualangan Sherina, Banyu Biru dan yang sebentar lagi akan meramaikan perfilman nasional, Maskot. Wajahdan karakternya yang khas dan menjadi ikon tersendiri di program televisi Pasar Rakyat 76 dan beberapa sinetron .

Video :
Banyu Biru
Penyesalan dan Doa Anti UU Pornografi

KUAETNIKA

The music group Kua Etnika, led by Djaduk Ferianto and consisting of 13 musicians, most of whom have a background in traditional music, is a musical ensemble which uses and reinterprets intensely the strengths of a variety of (Indonesian) ethnic music within a range of imagination and with new aesthetical sounds. The aim is to discover the energy contained in this area of music, to process it into new forms with multiple interpretations and wider room for appreciation, while retaining the ethnic nuances and constructive strengths contained within the traditional music itself.

The processing of traditional music, which has gained a positive response from both the Indonesian art community and the general public, has encouraged Kua Etnika to continue developing aesthetical explorations by discovering ethnic music with a modern approach. This is achieved through dialogues between different kinds of ethnic music or between ethnic music and (diatonic) western music. The different sound characters of each instrument are combined, while retaining the individual identity and strengths of each sound (instrument). In this way, the diversity of different instruments can be combined, and at times break free in improvisational sections. As such, the fusion of various instruments with different pitches and sound characters will produce a unique orchestration and interwoven sound, with a broader soundscape and dimensions.

The techniques and spiritual values used as a basic musical concept mean that playing a musical instrument is not merely a way of producing a sound, but also a way of expressing emotion within a form of musical expression. This is just one of many functions of ethnic/traditional music as a medium for developing a person’s spiritual values. From a technical angle, many ethnic musical instruments are percussion instruments, with only a small number of wind or string instruments. A good understanding of acoustics is needed when working with these sounds to create a new composition, as well as great care and sensitivity to sound, paying attention to the function and sound character of each instrument, in order to create the desired dimensions and lines of sound, since the diversity of pitches and sound characters has the potential to create a mess of unclear sounds piled up on top of each other.

This musical concept is the main theme of the music to be performed by the music group Kua Etnika, in which the growth of traditional values is represented through the language of music, providing new aesthetical values to traditional art, and reemerging with a new face in an ethnic nuance but without primordial ties. This concert will present a variety of atmospheres, created from a series of sounds based on the playing structures of ethnic music, ranging from contemplative stillness, inviting us to let go of our self consciousness, to glorious sounds enclosed within a frame of noble values. The music is played primarily on ethnic instruments, with the addition of a number of non-traditional instruments that are able to successfully combine with the pentatonic pitches of the traditional instruments. It is not only the beauty of the melody that affects our auditory sense of imagination. The strong rhythms also manage to arouse and stir up our emotions. This is what makes ethnic music so great – its ability to use intuition to touch and move our senses.

As a group, Kua Etnika allows room for each of its members to develop their creativity and musical ability. This creative work within a music group is based on a mutual awareness and commitment, in which each member is willing to give both tolerance and space for the development of creative ideas, in each endeavor to discover new forms with roots in ethnic music. Development activities on cultural thought are periodically carried out in the Jagongan Wagen forum through interactive dialogues and presentations of national and international artists.

The consistency and existence of Kua Etnika in responding to its music is realized in its productivity in creating new musical compositions for each concert performance, held annually. The achievement of the group so far is evident in the warm response shown by the community when Kua Etnika released the albums Orkes Sumpeg Nang Ning Nong (1997) and Ritus Swara (2000). In addition, music lovers from various circles attend each concerts given by Kua Etnika, including Orkes Sumpeg Nang Ning Nong in Jakarta and Yogyakarta (1997), JakJazz Festival in Jakarta (1997), Sketsa-Sketsa Bunyi I in Yogyakarta (1997), Musik Perkusi Kompi Susu in Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surakarta, Surabaya, and Malang (1998), Musik Perkusi Meja (Agak) Hijau in Jakarta (1999), Ethnovaganza Concert in Jakarta (1999), Mildcoustic Concert (1999), The Millenium Sacred Rhythm in Bali (2000), Ritus Swara in Bali, Jakarta, and Yogyakarta (2000), Sketsa-Sketsa Bunyi II in Yogyakarta and Jakarta (2000), Konser Musik Unen-Unen in Jakarta and Surakarta (2001). In October 2001, Kua Etnika was invited by the Akademi Kebangsaan Malaysia to give a workshop and performance of contemporary music at the Rentak dan Gerak (Rhythm & Movement) event. In 2002, Kua Etnika invited Kamrulbahri and Kiruba from Malaysia to collaborate, perform and produce album Many Skins One Rhythm, a program supported by a grant from Arts Network Asia. In 2003, Pata Master Jazz invited Kua Etnika to collaborate, perform and produce album Pata Java in Indonesia, a program supported by the Goethe Institute Indonesia. Kua Etnika was involved in another collaboration with Indonesian installation artists, presented in The Netherlands in December 2003. In 2004, they were included in a European tour entitled Everlasting Kretek Heritage. Other achievements are the success of the musical format developed by Kua Etnika for the electronic media (TV).

(Taken from: worldmusicindonesia.com)

KUAETNIKA


Sebuah komunitas seni

SANGGAR UNTUK PERTUMBUHAN
Jika anda menyaksikan pertunjukan Kelompok musik KUA ETNIKA dan kemudian anda terheran-heran kenapa mereka bisa kompak padahal tanpa berpedoman partitur, jawabannya sederhana: karena mereka – para pemusik itu – bekerja dengan hati yang satu. Pribadi-pribadi yang berkumpul di situ sudah lebur dalam pergumulan kreatif yang cukup lama, sehingga di antara mereka seperti ada “tali jiwa” yang selalu mengikatnya. Mereka memiliki perasaan yang sama, yaitu kepercayaan pada penjelajahan kreativitas atas dasar intuisi dengan mengutamakan “situasi mood” sebagai pedoman kreatif. Eksplorasi estetis musikal tidak berangkat dari sebuah disiplin baku, dari konvensi-konvensi yang terakui secara formal, melainkan dari kesadaran “mengolah apa yang ada, apa yang tersedia”. Ini tak ubahnya yang selalu mewarani proses olah cipta para seniman tradisional di Indonesia dalam melakukan kreasi-kreasi keseniannya. Bisa dimaklumi karena memang umumnya para pendukung komunitas ini lahir dan tumbuh dalam latar tradisi (Jawa dan Bali) yang kental. Dan itulah musik “kua etnika” garapan Djaduk Ferianto yang merupakan penggalian atas musik etnik dengan pendekatan modern. Komunitas Seni Kua Etnika memang sebuah sanggar. Didirikan antara lain oleh Djaduk Ferianto, Butet Kartaredjasa, dan Purwanto pada tahun 1995, sanggar ini merupakan medan interaksi dari sejumlah pekerja seni: pemusik, penyair dan pemain teater. Sejak awal tahun 80-an, secara temporal dan sporadis, para pendukung yang terhimpun di sini telah melakukan interaksi kreatif dalam berbagai kesempatan. Antara lain melalui Teater Gandrik, Padepokan Seni Bagong K, Komunitas Pak Kanjeng (1993-1995), dan Teater Paku. Setelah berproses dalam kelompok-kelompok kesenian itu, mereka semakin memantapkan diri sebagai sebuah kelompok kesenian yang solid. Sebagai sebuah komunitas mereka bergerak dalam satu niat yang sama, yaitu melakukan penjelajahan kreatif ulang-alik, antara kesenian tradisional dan kesenian modern; antara “eksplorasi bebas yang idealistik” dengan “eksplorasi pragmatis yang industrial”. Mereka meyakini bahwa dua kutub yang berseberangan itu, yang terkadang mengandung nilai-nilai yang bertentangan, pada satu momentum perlu disinergikan. Dipertemukan untuk dipetik manfaatnya. Karena itulah, sejak tahun 1997 komunitas ini memberanikan diri membangun sebuah sanggar seluas 600 meter persegi, di desa Kersan, Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan. Bantul, Yogyakarta, Indonesia. Di sanggar yang dibangun secara swadaya, yang akhirnya dilengkapi sebuah studio rekaman ini, kemudian tersambunglah proses budaya ulang-alik itu. Suatu saat mereka menjelajah dari satu konser ke konser lain di berbagai gedung kesenian serius. Tetapi, pada suatu kali, mereka tidak merasa merosot derajatnya karena harus melakukan pertunjukan mengiringi penyanyi pop di layar televisi, atau pun ke acara bersifat hiburan dalam aneka kemasan. Mereka menjadikan seni musik sebagai atmosfer kreatif. Dalam payung kelompok musik Kua Etnika mereka melakukan penggalian musik-musik etnik, perkusif dan memadukannya dengan instrument elektrik, seperti tampak dalam pertunjukan ke Eropa kali ini. Saat yang sama mereka juga menafsir kembali musik keroncong dalam semangat daur ulang sebagaimana tercermin dalam album musik Orkes Sinten Remen. Dengan model pendekatan ini musik keroncong tampil dalam kemasan yang lebih familier bagi generasi baru karena di dalamnya terkandung jazz, blues, rock’n roll, country dan ndangdut. Di kesempatan yang lain, dengan bendera Orkes Melayu Banter Banget, mereka pun menyentuh wilayah musik melayu yang kental sekali warna ndangdut-nya. Namun sanggar ini tak hanya menampung kegelisahan bermusik. Kegiatan berteater pun juga berproses di situ sebagaimana dilakukan Teater Gandrik, salah satu kelompok teater terkemuka di Indonesia. Juga kegiatan pengembangan pemikiran kebudayaan yang secara berkala dilakukan dalam forum Jagongan Wagen, baik berupa dialog interaktif maupun pementasan bagi seniman-seniman dari luar kota. Komunitas ini senantiasa ingin memberikan ruang pertumbuhan bagi anggota dan warganya yang memang berniat mengembangkan diri dalam olah kesenian.

LANDASAN KREATIF
Tapi kenapa mereka menggali musik etnik? Tentang hal ini bisa diterangkan bahwa dalam sejarahnya, khasanah musik etnik di Indonesia telah mampu diuji oleh waktu. Hal itu disebabkan antara lain oleh dua hal. Pertama, masing-masing memiliki kekhasan, kelebihan, kekuatan dan bahkan keagungannya sendiri. Dan kedua, oleh dukungan masyarakatnya. Akan tetapi, ketika nilai-nilai modernitas beserta produk budayanya (budaya massa/pop) menggelombang, dan bahkan mampu mendominasi budaya masyarakat, -- musik etnik di Indonesia pun tergeser ke wilayah pinggiran. Artinya, wilayah habitat musik etnik di Indonesia makin mengecil, begitu pula dengan jumlah pendukungnya. Berkat keliatan sikap budaya pendukungnya, musik etnik sampai kini tetap bertahan, meskipun menempati posisi pinggiran. Melihat kenyataan itu, mereka merasa perlu menciptakan revitalisasi musik etnik. Untuk itu, dibutuhkan terobosan budaya, terobosan kreatif dalam mengolah musik etnik, sehingga hasil olahan itu memiliki relevansi dan memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat modern. Upaya revitalisasi itu antara lain melalui pendekatan dan penafsiran yang berbeda (baru) dari yang selama ini ada. Itu artinya, mengolah musik etnik dengan sentuhan atau nafas modern, tanpa harus kehilangan spirit dasarnya/spirit tradisi. Dalam prakteknya, pola-pola irama tradisi dikembangkan semaksimal mungkin, sehingga diharapkan lahir “musik etnik alternatif”. Dasar keyakinan kerja kreatif itu ialah bahwa musik etnik di Indonesia, baik instrumen, melodi, maupun iramanya, senantiasa terbuka terhadap kemungkinan baru. Termasuk didalamnya upaya mendialogkan khasanah musik etnik dengan khasanah musik Barat, maupun mendialogkan antar musik etnik itu sendiri yang berasal dari daerah yang berbeda, misalnya musik etnik Bali dengan Jawa atau Sunda atau Minang. Dari berbagai rajutan dialog musikal itu diharapkan mampu melahirkan apa yang disebut “harmoni keindonesiaan”, tanpa melenyapkan karakter masing-masing musik etnik.

MENJALIN INTERAKSI
Bertolak dari kesadaran bahwa kesempatan belajar dan pengembangan diri tidak hanya diperoleh melalui bangku pendidikan formal, melainkan juga bisa didapat dari kesempatan berinteraksi dengan berbagai praktisi kesenian lainnya, maka komunitas ini senantiasa membuka diri untuk bekerjasama dalam penggarapan seni pertunjukan untuk panggung atau pun televisi. Baik sebagai pribadi maupun kelompok. Salah satu bentuk kolaborasi yang pernah dilakukan, misalnya, penggarapan acara musik di RCTI “Dua Warna” (1996-1997) di mana Djaduk bersama Aminoto Kosin dan Erwin Gutawa mencoba mempertemukan musik etnik dan elektrik pada lagu-lagu pop. Dan menggarap variety show “Pasar Rakyat 76” di televisi dengan menjadikan Orkes Sinten Remen sebagai pemusik utamanya. Selain itu, juga melakukan penggarapan musik untuk tari dengan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Eksotika Karmawibangga, Miroto and Dancers, Sentot Sudiarto; dengan Teater Koma dan Teater Gandrik: juga dengan para sineas Teguh Karya, Garin Nugroho, Slamet Rahardjo, Uci Supra, Nano Riantiarno, untuk pembuatan illustrasi musik film ataupun sinetron. Bahkan dalam perkembangannya komunitas ini melakukan kolaborasi kreatif bersama pemusik-pemusik manca negara, antara lain dengan para pemusik Malaysia yang menghasilkan konser “Many Skin”. Dan tahun 2003 lalu berproses dengan grup Pata Masters dari Jerman dan menghasilkan sebuah pertunjukan dan album “Pata Java”. Album-album musik itu melengkapi karya-karya sebelumnya yaitu: Nang-ning-nong Orkes Sumpeg, Ritus Swara dan Unen-Unen. Sejak akhir 90-an, tanpa segan komunitas seni Kuaetnika membuka pintunya bagi anak-anak muda, gerakan musik mereka, apapun bentuk musik dan potongan rambut mereka. Kuaetnika membuka diri pada berbagai selera musik anak muda ini bahkan sampai yang paling ekstrim. Shaggy Dog, Melancholic Bitch, Mock Me Not, Seek Six Sick, Cross Bottom, maupun anak-ank muda dari Yayasan Berkata-kata Cepat Yogyakarta (baca; Jogja Hip Hop Foundation), adalah beberapa dari nama-nama kelompok musik yang pernah, sempat, bahkan sebagian masih berproses di studio Kuaetnika. Para personil Kuaetnika terbiasa terlibat dalam percakapan panjang dengan anak-anak muda ini, untuk bertukar pikiran , gagasan, dan bahkan bertukar kegelisahan. Setali tiga uang dengan kegelisahan mereka untuk membuka diri pada berbagai sumber dan medium kreasi, mereka pun tampak tak pernah lelah mendatangi berbagai ruang komunikasi, menabrak pula seluruh fiksi tentang komunikasi. Mereka merambah dan mencairkan gedung-gedung pertunjukan yang kaku, sama bersemangatnya dengan acara-acara panggung terbuka di kampung-kampung dan di tengah pasar tradisional, atau berkolaborasi dengan musisi pop di acara tv. Ngamen di 5 kota di 5 negara Eropa di tahun 2004 disikapi sama seriusnya dengan ngamen di kota-kota pesisir utara pulau Jawa.

TRIE UTAMI
Awalnya, ia tak lekas menerima tawaran untuk menjadi vokalis dari sebuah kelompok jazz asal Bandung. “Menjadi penyanyi bukan cita-cita saya. Menjadi tokoh sentral tak menarik,” katanya. Kalau saja percakapan itu selesai di sana mungkin kita akan mengenalnya dengan cara yang berbeda. Kini, sulit mencari yang tak pernah mendengar suara vokalis kelahiran 8 januari 1968. di tahun 80-an, ia identik dengan Krakatau, band jazz yang sempat ditolaknya itu. Di tahun 90-an ia tampil bersama beberapa grup, selain menancapkan kukunya diantara penyanyi solo terdepan di Indonesia dan pula mendapatkan pengakuan dari berbagai festival dan kegiatan musik berskala internasional. Di paruh awal 2000-an ia mendapat gelar baru: Miss Pitch Control, seturut tag-line yang sering ia ucapkan beserta seluruh penampilannya yang dingin dan tajam dalam sebuah kompetisi vocal salah satu stasiun televisi. Pertemuannya dengan seni tradisi berlangsung sejak lama, bersamaan pertemuannya dengan seni modern. Di paruh 70-an bersamaan dengan studi piano klasik, ia belajar pula tari klasik Jawa dan Sunda. Di Krakatau, ia mendapatkan ruang eksplorasi mendalam yang mempertemukan musikalitas pentatonic dan diatonic. Sejak itu, pertemuan musik tradisi dan musik modern menjadi agenda yang setia dijalaninya. Sejak paruh kedua 90-an, setelah sempat terlibat sebagai vokalis di komunitas musik Nyi Kanjeng, ia mulai bekerja sama dengan komunitas Kuaetnika. Mula-mula ia menjadi vokalis tamu di proyek-proyek Orkes Sinten Remen dan Kuaetnika, mengisi beberapa komposisi dalam album dan pertunjukan mereka. Kini, ia adalah penyanyi utama Kuaetnika.

PEMUSIK KUAETNIKA

DJADUK FERIANTO
Yogyakarta, 19 Juli 1964 Fakultas Seni Rupa & Desain ISI –Yogyakarta Perkusi, Vokalis, Traditionil Flute

PURWANTO
Gunungkidul, 12 Januari 1967 ISI - Yogyakarta Bonang, Reong & Pamade

INDRA GUNAWAN
Medan, 23 April 1970 ISI - Yogyakarta Keyboard (Synthes)

I NYOMAN CAU ARSANA
Badung (Bali), 7 November 1971 ISI - Yogyakarta Reong, Pamade & Saron SUWARJIYA Sleman, 26 Maret 1863 UNY (IKIP Yogyakarta) Saron & Pamade AGUS

WAHYUDI
Yogyakarta, 17 Agustus 1975 UGM & ISI-Yogyakarta Keyboard

FAFAN ISFANDIAR
Malang, 1974 ISI Yogyakarta Biola

SUKOCO
Bantul, 16 September 1967 SMKI Yogyakarta Kendang & Reong

WARDOYO
Brebes, 1969 ISI Yogyakarta Kendang Sunda

PARDIMAN
Bantul, ISI Yogyakarta Bonang & Saron

I KETUT IDEP SUKAYANA
Bangli (Bali), ISI Denpasar Reong & Ugal

ADDITIONAL PEMUSIK KUAETNIKA

BENY FUAD HERAWAN
Bandung, 19 Desember 1976 ISI - Yogyakarta Drum

DHANNY ERIAWAN WIBOWO
Magelang, 1 Desember 1975 SMA Bass Guitar

ARIE SENJAYANTO
Semarang, 27 September 1973 USD-Yogyakarta Electrick & Acustik Guitar

SILIR PUJIWATI
Temanggung, 29 Mei 1975 ISI-Yogyakarta Vokal

JAJOEK SURATMO
Pontianak, USD-Yogyakarta Vokal

ALAMAT
Komunitas Seni Kuaetnika Studio & Workshop

Komplek Padepokan Seni Bagong Kussudihardja
Jln. Bibis Raya, Gg. Nusa Indah No. 146 Kembaran Rt 04/Rw 21, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183

Kontak Person:
Butet Kartaredjasa
+62811 269 010
butet@indo.net.id

Sony Suprapto
+62811 250 5429
sony@kuaetnika.com
sonysuprapto@yahoo.com

Website :
http://kuaetnika.com

Video :
Mission Impossible Cover
Gandekan
Performs at The Star Shell, Darwin Festival
Kupu Tarung
Denau
Mademenan

MP3 :
Djaduk Ferianto - Ndherek Dewi Maria
Djaduk Ferianto - Srengenge Nyunar

Jumat, 13 November 2009

Drama Tarling, Gara-gara Anak

Sebuah drama tarling berjudul GARA-GARA ANAK yang dimainkan Group Tarling CAHAYA MUDA pimp H.Ma'mun.

Para pelaku :
Hj.dariyah
Yoyo S.
Iin T.
Tono K.
Oglek
Kinclung
Doblang

Silahkan download disini

Baridin, Legenda Cinta Abadi Cirebon



Siapa yang tak kenal Baridin? Sebuah kisah klasik tentang cinta anak manusia yang melegenda di wilayah Cirebon. Kisahnya sendiri berseting pada masa penjajahan Belanda, di wilayah Desa Jagapura, Kec.Gegesik, Cirebon.
Dikisahkan, Baridin yang anak seorang janda miskin jatuh cinta pada seorang gadis yang bernama Suratminah, anak seorang duda kaya, Bapak Dam. Namun cintanya ditolak oleh Ratminah, bahkan gadis itu menghinanya karena kemiskinannya.
Merasa cintanya tak berbalas, Baridin diberi pusaka oleh sahabat dekatnya, Gemblung, sebuah ilmu pelet Jaran Guyang. Lalu, bagaimana kisah selanjutnya?

Dimainkan oleh Group Tarling Putra Sangkala, pimpinan H.Abdul Adjib.

Para pemain :
H.Abdul Adjib sbg Baridin
Hj.Uun Kurniasih sbg Ratminah
Dulatip sbg Bapak Dam
Tin Sutinih sbg Mbok Wangsih
Wa Boncel sbg Gemblung

Silahkan download mp3 lengkapnya disini.

Rabu, 04 November 2009

Pandit Pran Nath

Pandit Pran Nath
Raga Cycle, Palace Theatre, Paris, 1972


Release : 2006
Label : Sri Moonshine

download

Gamelan Semar Pegulingan II

GAMELAN SEMAR PEGULINGAN:
"Gunung Jati" Ensemble Of Tegas, Peliatan Village


Download

Rabu, 07 Oktober 2009

DISCUS


"[The music is] a veritable patchwork of jazz, fusion, Sundan traditional and Balinese music, contemporary classical and classical chamber, pop, pop jazz, prog rock, heavy metal and dissonant avant-garde. In short, the band tackles just about every imaginable genre that lies between Pink Floyd and Weather Report. The vocals follow a similar pattern, featuring both male and female vocalizations that can be normal one minute and hysterical the next." (Progarchives.com)


This multi-instrumental band has an incredible range of influences such as jazz, prog rock, pop, classical, heavy metal. The songs are all very experimental, but each song itself is a diferent experience. As far I got, there are five male and two female vocals. It's great, but I won't recommend to beginners.

Album :
1.Discus - 1st (1999)
Songs / Tracks Listing
1. Lamentation & Fantasia Gamelantronique (8:14)
a) Lamentation
b) Fantasia Gamelantronique (for J. S.)
2. For This Love (6:18)
3. Doc's Tune (7:47)
4. Condissonance (trio for violin, bass clarinet & 21-string Harpguitar) (5:54)
5. Dua Cermin (5:41)
6. Wujudkan! (4:39)
7. Violin Metaphysics (music for violin & digital delay) (5:40)
8. Anugerah (4:11)
9. Contrasts (incl. the traditional theme "Gambang Suling") (12:57)
a) Opening & Meditation
b) Gambang Suling
c) Q/A & Odd Time Improvisations
d) Ostinato (Metal Attack!)
e) Lydian Piano Theme & Minor Dance
f) Gambang Suling

Total Time: 51:30
Note: This is the international version (for worldwide distribution) as released by Mellow Records in Italy. The Indonesian Version (For Sale in Indonesia Only) has a slightly different order of songs.
Line-up / Musicians
- Iwan Hasan / guitar, 21-string harpguitar, Balinese Rindik, electronic percussion & lead vocals
- Anto Praboe / flute, Soprano, Alto & Tenor saxophones, clarinet & bass clarinet
- Eko Partitur / violin & electronics
- Fadhil Indra / keyboards, background vocals
- Hayunaji / Premier drums & electronic percussions
- Kiko Caloh / 5-string & fretless bass
- Krisna Prameswara / keyboards, MIDI percussion programming
- Noonie / lead vocals


2.Discus - Tot Licht (2002)


Songs / Tracks Listing
1. System Manipulation (9:20)
2. "Breathe" (8:34)
3. P.E.S.A.N. (5:32)
4. Verso Kartini - door duisternis tot licht! (12:18)
5. Music 4.5 Players (7:40)
6. Anne (19:23)
Bonus track for Japan only
7. Misfortune Lunatic (6:09)

Total Time: 68:56
Line-up / Musicians
- Anto Praboe / lead vocals, suling (Bali, Sunda & Toraja), flute, clarinet, bass clarinet, Tenor saxophone
- Eko Partitur / lead vocals, violin
- Fadhil Indra / lead vocals, keyboards, electronic percussion, gongs, rindik, kempli, gender
- Hayunaji / vocals, drums, kempli
- Iwan Hasan / lead vocals, electric & classical guitars, 21 strings harpguitar, keyboards, guitalele & strummer violin
- Kiki Caloh / lead vocals, bass
- Krisna Prameswara / vocals, keyboards
- Nonnie / lead vocals

Additional Musicians:
- Andy Julias / acoustic steel string guitar on "P.E.S.A.N."
- Ombat Nasution of Tengkorak Growls on "Breathe"
- Godfried L. Tobing / Classical choir vocals on "Misfortune Lunatic"



Kompas >Jumat, 29 September 2000
Discus Menggebrak Amerika Serikat

Nama kelompok musik Discus nyaris tak terdengar di blantika musik Indonesia. Namun, nama Discus justru cukup sering diulas majalah musik luar negeri seperti Expose, majalah khusus progressive rock terbitan Amerika, serta majalah- majalah Eropa lainnya.Grup yang memakai nama ikan hias ini sebenarnya telah merilis album pertama Discus 1st yang dirilis Mellow Records (Italia) dan diedarkan di Indonesia oleh Aquarius Musikindo.

"Mungkin musik kami jauh dari kesan pop. Lebih rumit dan eksperimental. Bayangkan, kami mencoba menyatukan begitu banyak jenis musik, mulai dari musik jalanan, jazz, rock, hingga etnik Jawa," kata Iwan Hasan, sang gitaris yang juga leader Discus.
Dalam review-nya, majalah Expose edisi lalu memuji Discus sebagai "...best of the year stuff, this one gets our highest recommendation...". Bahkan sejumlah kritisi musik progressive rock di Eropa sepakat menempatkan album Discus 1st sebagai lima besar album prog-rock terbaik Eropa akhir tahun 1999 lalu.
Di mata orang asing, boleh jadi elemen musik etnis Jawa yang terkandung dalam Discus 1st, masih memikat. "Itu tidak kami pungkiri. Discus menjadi titik perhatian karena masih mau membawa nuansa musik tradisional kita," lanjut Iwan.
Tidak mengherankan bila kemudian Peter Renfro, penginisiatif acara tahunan "ProgDay" yang menampilkan band-band progressive rock seluruh dunia, mengundang Discus untuk tampil di Amerika setelah mendengar debut album Discus.

Selasa, 22 September 2009

Selasa, 08 September 2009

H.Abdul Adjib



H.Abdul Adjib, adalah pimpinan grup tarling Putra Sangkala. Bersama istrinya, Hj.Uun Kurniasih, didaulat sebagai raja dan ratu tarling. Salah satu karya terbaiknya adalah drama tarling klasik, Baridin dan lagu Warung Pojok. Berikut adalah lagu-lagu ciptaannya.

Krisis Akhlak
Jodoh Mampir
Supir Inden
Waspada
Warung Pojok (Hj.Uun Kurniasih)
Rama Shinta (Hj. Uun K)
Oh Sayang (Hj. Uun K)
Nonton Tarling
Mingguan
Asal Ngaku
Rangda Tua
jajan Baso
Bandara Soekarno Hatta (H.Uun Kurniasih)

Hj.Dariyah



Hj.Dariyah pertama kali dikenal sebagai sinden Rineka Swara. Kemudian ia lebih dikenal sebagai penyanyi tarling grup Cahaya Muda yang berasal dari Jatibarang, Kab. Indramayu, pimpinan H.Ma'mun, suaminya sendiri. Bersama Cahaya Muda, ia banyak menerima tawaran manggung dan mengeluarkan album, baik drama tarling ataupun lagu tarling.

Lagu-lagu Hj. Dariyah :

Gambaran Urip
Mikiri Janji
Pedet Nuntun Sapi
Pikir-pikir
Kelalen Ning Janji
Enakan (bersama Yoyo S)

Senin, 10 Agustus 2009

KECAPI SULING



Kacapi Suling merupakan perangkat waditra Sunda yang terdapat hampir di setiap daerah di Tatar Sunda. Waditranya terdiri dari Kacapi dan Suling. Kacapinya terdiri dari Kacapi Indung atau Kacapi Parahu atau Kacapi Gelung.
Selain disajikan secara instrumentalia, Kacapi Suling juga dapat digunakan untuk mengiringi Juru Sekar yang melantunkan lagu secara Anggana Sekar atau Rampak Sekar. Lagu yang di sajikannya di antaranya : Sinom Degung, Kaleon, Talutur dan lain sebagainya.
Laras yang di pergunakannya adalah laras Salendro, Pelog atau Sorog. Berbeda dengan sebutan Kacapi Suling atau Kacapian bila menggunakan Kacapi Siter. Sudah lazim selain Kacapi Siter dan Suling di tambah pula 1 (sate) set Kendang dan 1 (satu) set Goong. Laras yang di pergunakannya sama seperti laras yang biasa di pergunakan pertunjukan Kacapi Suling yang mempergunakan Kacapi Parahu yaitu” laras Salendro, Pelog, Sorog. Kecapi Suling yang mempergunakan Kecapi Siter, selain menyajikan instrumentalia juga di pergunakan untuk mengiringi nyanyian (kawih) baik secara Anggana Sekar maupun secara Rampak Sekar.
Lagu-lagu yang disajikan secara Anggana Sekar yaitu seperti : Malati di Gunung Guntur, Sagagang Kembang Ros dan lain sebagainya. Sedangkan untuk Rampak Sekar di antaranya Seuneu Bandung, Lemah Cai dan lain sebagainya.
Dalam perkembangannya baik Kacapi Suling yang menggunakan Kacapi Parahu maupun Kacapi Sitter, sexing di pergunakan untuk mengiringi Narasi Sunda dalam acara Ngaras dan Siraman Panganten Sunda, Siraman Budak Sunatan, Siraman Tingkeban. Selain instrumentalia disajikan pula lagu-lagu yang rumpakanya disesuaikan dengan kebutuhan acara yang akan di laksanakan. Lagu yang disajikan diambil dari lagu-lagu Tembang Sunda
Seperti diantaranya Candrawulan, Jemplang Karang, Kapati-pati atau Kaleon dan lain sebagainya. Ada pula yang mengambil lagu-lagu kawih atau lagu Panambih pada Tembang Sunda seperti di antaranya Senggot Pangemat, Pupunden Ati dan lain sebagainya.
Disamping perangkat Kecapi dan Suling ada pula perangkat Kecapi Biola dan Kecapi Rebab yang membawakan lagu-lagu yang sama. Dalam penyajiannya, Kecapi memainkan bagian kerangka iramanya sedangkan bagian lagunya di mainkan oleh Suling, Biola atau Rebab. Adapun tangga nada atau laras yang dalam Karawitan Sunda di sebut dengan Surupan, ada pula yang di sebut dengan Salendro, Pelog, Prawa dan Sorog.
Kacapi Suling kini banyak di gemari para Kawula Muda, baik di pedesaan mau pun di perkotaan. Karena untuk mempelajarinya bisa meniru dari kaset rekaman Kacapi Suling yang banyak beredar di masyarakat.
Khusus untuk alat kecapinya, saat ini sering digunakan oleh beberapa group seni lawak sebagai pengiring. Seperti halnya yang sering dilihat, pada pertunjukan Mang Ukok. Kecapi menjadi pelengkap utama yang lantunannya tidak saja mengiringi lagu-lagu Sunda, tapi juga lagu asing.



Download mp3:

Jalan Satapak
Bulan Tumanggal
Kamelang
Mega Sutra
Panghegar
Leuheung leuheung
Gawil
Bulan Langlayang Peuting
Dina Jandela
Hariring Nu Kungsi Nyanding
Hareupeun Kaca
Imut Malati
Kembang Tanjung
Longkewang
Malati di Gunung Guntur
Kembang Tanjung Panineungan
Sagagang Kembang Eros
Salam Manis
Saleumpay Sutra
Samoja
Sariak Layung
Wengi Enjing Tepang Deui



Album : ARUM BANDUNG
Suling : Burhan Sukarma
Kecapi: Nana & Rukruk
Tahun : 1980
Produksi : Dian Record


UJANG SURYANI - GAMELAN DEGUNG


This album was recorded in 1992 in the Jugala Studio in Bandung. Ujang Suryani, the famous blind suling-player from Bandung is leading the Gamelan orchestra playing beautiful Gamelan Degung.

1 BULAN DAGOAN
2 GARA-GARA CINTA
3 SELON
4 KUCAP-KUCIP
5 KAPINIS
6 SALAM BAY BODAS
7 GOYANG-GOYANG
8 ES LILIN

Download full album here

Kamis, 02 Juli 2009

Wayang

Wayang is an Indonesian/Malay word for theatre (literally "shadow"[1]) When the term is used to refer to kinds of puppet theater, sometimes the puppet itself is referred to as wayang. ", the Javanese word for shadow or imagination, also connotes "spirit." Performances of shadow puppet theater are accompanied by gamelan in Java, and by "gender wayang" in Bali.

UNESCO designated Wayang Kulit, a shadow puppet theater and the best known of the Indonesian wayang, as a Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity on 7 November 2003.

History Of Wayang Kulit

Wayang is a generic term denoting traditional theatre in Indonesia. There is no evidence that wayang existed before Hinduism came to Southeast Asia sometime in the first century CE. However, there very well may have been indigenous storytelling traditions that had a profound impact on the development of the traditional puppet theatre. The first record of a wayang performance is from an inscription dated 930 CE which says "si Galigi mawayang," or "Sir Galigi played wayang". From that time till today it seems certain features of traditional puppet theatre have remained. Galigi was an itinerant performer who was requested to perform for a special royal occasion. At that event he performed a story about the hero Bhima from the Mahabharata.

Hinduism arrived in Indonesia from India even before the Christian era, and was slowly adopted as the local belief system. Sanskrit became the literary and court language of Java and later of Bali. The Hindus changed the Wayang (as did the Muslims, later) to spread their religion, mostly by stories from the Mahabharata or the Ramayana. Later this mixture of religion and wayang play was praised as harmony between Hinduism and traditional Indonesian culture. On Java, the western part of Sumatra and some smaller islands traditionalists continued to play the old stories for some time, but the influence of Hinduism prevailed and the traditional stories either fell into oblivion or were integrated into the Hinduistic plays.

The figures of the wayang are also present in the paintings of that time, for example, the roof murals of the courtroom in Klungkung, Bali. They are still present in traditional Balinese painting today.

When Islam began spreading in Indonesia, the display of God or gods in human form was prohibited, and thus this style of painting and shadow play was suppressed. King Raden Patah of Demak, Java, wanted to see the wayang in its traditional form, but failed to obtain permission from the Muslim religious leaders. As an alternative, the religious leaders converted the wayang golek into wayang purwa made from leather, and displayed only the shadow instead of the figures itself.[citation needed] Instead of the forbidden figures only their shadow picture was displayed, the birth of the wayang kulit.[citation needed]

The figures are painted, flat woodcarvings (a maximum of 5 to 15 mm thick -- barely half an inch) with movable arms. The head is solidly attached to the body. Wayang klitik can be used to perform puppet plays either during the day or at night. This type of wayang is relatively rare.

Wayang today is both the most ancient and most popular form of puppet theatre in the world. Hundreds of people will stay up all night long to watch the superstar performers, dalang, who command extravagant fees and are international celebrities. Some of the most famous dalang in recent history are Ki Nartosabdho, Ki Anom Suroto, Ki Asep Sunarya, Ki Sugino, and Ki Manteb Sudarsono.

Wayang Kulit

Wayang Kulit, shadow puppets prevalent in Java and Bali in Indonesia, are without a doubt the best known of the Indonesian wayang. Kulit means skin, and refers to the leather construction of the puppets that are carefully chiseled with very fine tools and supported with carefully shaped buffalo horn handles and control rods.

The stories are usually drawn from the Ramayana, the Mahabharata or the Serat Menak. The island of Lombok has developed its own style of Serat Menak called "kazangiloonga".

There is a family of characters in Javanese wayang called Punakawan; they are sometimes referred to as "clown-servants" because they normally are associated with the story's hero, and provide humorous and philosophical interludes. Semar is the father of Gareng (oldest son), Petruk, and Bagong (youngest son). These characters did not originate in the Hindu epics, but were added later, possibly to introduce mystical aspects of Islam into the Hindu-Javanese stories. They provide something akin to a political cabaret, dealing with gossip and contemporary affairs.

The puppets figures themselves vary from place to place. In Central Java the city of Surakarta (Solo) is most famous and is the most commonly imitated style of puppets. Regional styles of shadow puppets can also be found in West Java, Banyumas, Cirebon, Semarang, and East Java. Bali produces more compact and naturalistic figures, and Lombok has figures representing real people. Often modern-world objects as bicycles, automobiles, airplanes and ships will be added for comic effect, but for the most part the traditional puppet designs have changed little in the last 300 years.

Historically, the performance consisted of shadows cast on a cotton screen and an oil lamp. Today, the source of light used in wayang performance in Java is most often a halogen electric light. Some modern forms of wayang such as Wayang Sandosa created in the Art Academy at Surakarta (STSI) has employed spotlights, colored lights and other innovations.

The handwork involved in making a wayang kulit figure that is suitable for a performance takes several weeks, with the artists working together in groups. They start from master models (typically on paper) which are traced out onto kulit (skin or parchment), providing the figures with an outline and with indications of any holes that will need to be cut (such as for the mouth or eyes). The figures are then smoothed, usually with a glass bottle, and primed. The structure is inspected and eventually the details are worked through. A further smoothing follows before individual painting, which is undertaken by yet another craftsman. Finally, the movable parts (upper arms, lower arms with hands and the associated sticks for manipulation) mounted on the body, which has a central staff by which it is held. A crew makes up to ten figures at a time, typically completing that number over the course of a week.

The painting of less expensive puppets is handled expediently with a spray technique, using templates, and with a different person handling each color. Less expensive puppets, often sold to children during performances, are sometimes made on cardboard instead of leather.

From: Wikipedia

Other article : geocities.com

Video :

On Dedicatusvideos.com

Wayang Kulit Langen Budaya, Dalang Ki H.Anom Rusdi Dari Desa Celeng, Kec.Lohbener Kab.Indramayu, Jawa Barat

Lakon: Gugure Antareja Lan Jaka Entawan

Part1 Part2 Part3 Part4 Part5 Part6 Part7 Part8 Part9 Part10 Part11 Part12 Part13 Part14 Part15 Part16 Part17 Part18 Part19 Part20 Part21 Part22 Part23 Part23 Part24 Part25 Part26 Part27 Part28 Part29 Part30 Part31 Part32 Part33 Part34-end

Uploader: tugudermayu

On Youtube.com

Semar Gugat Kedewatan

Part01 Part02 Part03 Part04 Part05 Part06 Part07 Part08 Part09 Part10 Part11 Part12 Part13 Part14 Part15 Part16 Part17 Part18 Part19 Part20 Part21 Part22




Rabu, 01 Juli 2009

Sintren

*Kehidupan rakyat pesisiran selalu memiliki tradisi yang kuat dan mengakar. Pada hakikatnya tradisi tersebut bermula dari keyakinan rakyat setempat terhadap nilai-nilai luhur nenek moyang, atau bahkan bisa jadi bermula dari kebiasaan atau permainan rakyat biasa yang kemudian menjadi tradisi yang luhur.
Mungkin orang-orang yang dulu hidup di wilayah pesisiran tidak akan mengira kalau tradisi tersebut hingga kini menjadi mahluk langka bernama kebudayaan, yang banyak dicari orang untuk sekedar dijadikan obyek penelitian dan maksud maksud tertentu lainnya yang tentu saja akan beraneka ragam.
Salah satu tradisi lama rakyat pesisiran Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat, tepatnya di Cirebon, adalah Sintren. Kesenian ini kini menjadi sebuah pertunjukan langka bahkan di daerah kelahiran Sintren sendiri. Sintren dalam perkembangannya kini, paling-paling hanya dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara kelautan selain nadran, atau pada hajatan-hajatan orang gedean.
Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber kalangan seniman tradisi cirebon, Sintren mulai dikenal pada awal tahun 1940-an, nama sintren sendiri tidak jelas berasal dari mana, namun katanya sintren adalah nama penari yang masih gadis yang menjadi staring dalam pertunjukan ini.
Menurut Ny. Juju, seorang pimpinan Grup Sintren Sinar Harapan Cirebon, asal mula lahinrya sintren adalah kebiasaan kaum ibu dan putra-putrinya yang tengah menunggu suami/ayah mereka pulang dari mencari ikan di laut. ”Ketimbang sore-sore tidur, kaum nelayan yang ndak pergi nangkap ikan, ya mendingan bikin permainan yang menarik,” ujar Juju.
Permainan sintren itu terus dilakukan hampir tiap sore dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka, maka lama-kelamaan Sintren berubah menjadi sebuah permainan sakral menunggu para nelayan pulang. Hingga kini malah Sintren menjadi sebuah warisan budaya yang luhur yang perlu dilestarikan.
Pada perkembangan selanjutnya, sintren dimainkan oleh para nelayan keliling kampung untuk manggung dimana saja, dan ternyata dari hasil keliling tersebut mereka mendapatkan uang saweran yang cukup lumayan. Dari semula hanya untuk menambah uang dapur, Sintren menjadi obyek mencari nafkah hidup

Harus gadis.
Kesenian Sintren (akhirnya bukan lagi permainan), terdiri dari para juru kawih/sinden yang diiringi dengan beberapa gamelan seperti buyung, sebuah alat musik pukul yang menyerupai gentong terbuat dari tanah liat, rebana, dan waditra lainya seperti , kendang, gong, dan kecrek.
Sebelum dimulai, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang dimaksudkan untuk mengundang penonton. Syairnya begini :

Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul.


Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya,

Kembang trate
Dituku disebrang kana
Kartini dirante
Kang rante aran mang rana


Di tengah-tengah kawih diatas, muncullah Sintren yang masih muda belia. Konon menurut Ny. Juju. Seorang sintren haruslah seorang gadis, kalau Sintren dimainkan oleh wanita yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas, dalam hal ini Ny. Juju enggan lebih jauh menjelaskan kurang pas yang dimaksud semacam apa. ”Pokoknya harus yang masih perawan,” katanya menegaskan.
Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki, sehingga secara syariat, tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan tersebut dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukan ke dalam sebuah carangan (kurungan) yang ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan terus menggema, dua orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya membaca do?dengan asap kemenyan mengepul. Juru kawih terus berulang-ulang nembang :

Gulung gulung kasa
Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-buru
Ana sintren masih baru


Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih dalam keadaan tidur. Namun begitu kurungan dibuka, sang Sintren sudah berganti dengan pakaian yang serba bagus layaknya pakaian yang biasa digunakan untuk menari topeng, ditambah lagi sang Sintren memakai kaca mata hitam.
Sintren kemudian menari secara monoton, para penonton yang berdesak-desakan mulai melempari Sintren dengan uang logam, dan begitu uang logam mengenai tubuhnya, maka Sintren akan jatuh pingsan. Sintren akan sadar kenbali dan menari setelah diberi jampi-jampi oleh pawang.
Secara monoton sintren terus menari dan penonton pun beruhasa melempar dengan uang logam dengan harapan Sintren akan pingsan. Disinilah salah satu inti seni Sintren ”Ndak tahu ya, pokoknya kalau ada yang ngelempar dengan uang logam dan kena tubuh Sintren pasti pingsan, sudah dari sononya sih pak, mengkonon yang mengkonon,” ujar seorang pawang, Mamang Rana pada penulis.
Ketika hal ini ditanyakan pada Sintrennya, Kartini (20), usai pertunjukan, mengaku tidak sadarkan diri apa yang ia perbuat diatas panggung, meskipun sesekali terasa juga tubuhnya ada yang melempar dengan benda kecil.
Misteri ini hingga kini belum terungkap, apakah betul seorang Sintren berada dibawah alam sadarnya atau hanya sekedar untuk lebih optimal dalam pertunjukan yang jarang tersebut. Seorang mantan Sintren yang enggan disebut namanya mengatakan, ia pernah jadi Sintren dan benar-benar sadar apa yang dia lakukan di atas panggung, namun lantaran tuntutan pertunjukan maka adegan pingsan harus ia lakukan.
Pada Festival Budaya Pantura Jabar yang berlangsung di lapangan terbuka Kejaksan, Cirebon tahun 2002, pertunjukan benar-benar menjadi perhatian masyarakat setempat, publik seni dan para pengamat seni. Sintren dipentaskan sepanjang Festival berlangsung hingga bulan September 2002, di Subang, Indramayu, Sumedang, Bekasi dan Karawang.
Kesenian Sintren merupakan warisan tradisi rakyat pesisiran yang harus dipelihara, mengingat nilai-nilai budaya yang kuat di dalamnya, terlepas dari apakah pengaruh majis ada di dalamnya atau tidak. Sintren menambah daftar panjang kekayaan khasanah budaya sebagai warisan tradisi nenek moyang kita.
Sampai sekarang, ada beberapa grup Sintren yang masih eksis dan produktif, masing masing pimpinan Ny. Nani dan Ny. Juju, yang beralamat di Jl. Yos Sudarso, Desa Cingkul Tengah, Gang Deli Raya, Cirebon. Dan di Indramayu Sintren Layungsari, Ds. Mekar Gading Kec.Sliyeg Kab.Indramayu, Jawa Barat, juga grup sintren Sriayu Layungsari, Ds Malangsari, Kec.Bangodua, Indramayu, pimpinan Bpk.Oglek

Selasa, 16 Juni 2009

Keroncong


Kroncong (pronounced "kronchong") is the name of a ukulele-type instrument and an Indonesian musical style that typically makes use of the kroncong, a flute, and a female singer. Characteristics
The name "Kroncong" may be derived from the jingling sound of the kerincing rebana, as heard in the rhythmic background to the music created by the interlocking of instruments playing on or off the beat. This background rhythm runs faster than the (often) slow vocal or melody, and is created, typically, by two ukuleles, a cello, a guitar and a bass. These instruments, especially the pair of ukeleles, interlock as do the instruments in a gamelan orchestra, and it is clear that the musical traditions of Indonesia have been applied to an orchestra of European instruments.
One ukulele, called the "cak" (pronounced "chak") may be steel-stringed and the instrumentalist strums chords with up to 8 strums per beat in 4/4 rhythm. The off-beat strums are accentuated. The other ukulele, called the "cuk" (pronounced "chook"), is larger and may have 3 gut or nylon strings. The instrumentalist may pluck arpeggios and tremoloes using a plectrum, and the on-beat is emphasised. As a set, the cak and cuk form an interlocking pair that mostly gives Kroncong its characteristic kron and chong.
The cello may have 3 gut or nylon strings and chords are plucked rapidly, often with a unique skipped-beat, using the thumb and one finger. This instrument then adds both rhythm and tone. The guitar may play similarly to either cak or cuk but, more often, plays extended scalar runs that provide an undulating background to a chord or bridge chord changes. The bass often is played in a minimalist style reminiscent of the large gongs in a gamelan.
On top of this rhythmic layer the melody and elaborate ornamentation is carried by a voice, flute or violin. The violin or flute are used to play introductory passages (often elaborate), fills and scalar runs, both faster and more elaborate than the guitar. The vocalist sings the melody which, in traditional Kroncong, is slow with sustained notes.
The repertoire largely uses the Western major key with some arrangements in the minor. One departure from this occurs when Kroncong orchestras play Javanesse songs (Langgam Jawa). Javanese music ordinarily uses scales and intervals that do not occur in Western music. Kroncong Jawa maintains Western intervals but adopts a 5-tone scale that approximates one of the main Javanese septatonic scales. When playing this style, cak and cuk leave their characteristic interplay and both play arpeggios to approximate the sound and style of the Javanese instrument the siter, a kind of zither. The cello adopts a different rhythmic style as well.
History

Kroncong music began in the 16th century as sailors brought Bobian instruments and music to Indonesia. Lower-class citizens and gangs, commonly called buaya (a reference to "buaya darat" or crocodile on land, a term used to describe playboys to this day) adopted the new musical styles. Eventually, they were assimilated by the upper-class citizens. Paul Fisher writes,
The small kroncong guitar, also the name of a music, is derived from the Portuguese braguinha, sharing its root with the Hawaiian ukulele. Kroncong music is believed to have originated in the communities of freed Portuguese slaves in the 16th century. European influence from this time can also be heard in the music of the Batak people of North Sumatra, and from the end of the 19th century, the beginnings of guitar accompaniment incorporated within a distinctly Indonesian idiom in music from Sumatra, South Sulawesi and elsewhere.
Kroncong (currently spelled Keroncong in Indonesian) is now considered old-fashioned folk music by most Indonesian youth, although efforts have been made since the 1960s to modernise the genre by adding electric guitars, keyboards and drums, notably in so-called Pop Keroncong sung by Hetty Koes Endang. The melancholic spirit of traditional, acoustic Kroncong (so similar to Portuguese Fado music) has been recorded by Samuel Quiko and the members of his Jakartan Krontjong Tugu Orchestra, who have performed at the well-known Pasar Malam in The Hague.


Sumber : Wikipedia


Songs :

Sepasang Mata Bola
Juwita Malam
Selendang Sutra
Keroncong Kemayoran
Bengawan Solo
Bumi Emas Tanah Airku
Sapu Tangan
Urung
Dewi Murni
Di Bawah Sinar Bulan Purnama
Gado Gado Jakarta
Hitam Tapi Manis
Melati Di Tapas Batas
Rangkaian Melati
Rayuan Pulau Kelapa
Aryati
Jembatan Merah
Lenggang Lenggang Kangkung
Mangga Pisang Jambu
Pulang Kampung
Supir Taksi
Tukang Becak
Rindu Lukisan
Sapu Lidi
Satria Sejati
Mengapa Kau Menangis
Pasar Gambir
Bandar Jakarta
Sejak Kita Berpisah