The music group Kua Etnika, led by Djaduk Ferianto and consisting of 13 musicians, most of whom have a background in traditional music, is a musical ensemble which uses and reinterprets intensely the strengths of a variety of (Indonesian) ethnic music within a range of imagination and with new aesthetical sounds. The aim is to discover the energy contained in this area of music, to process it into new forms with multiple interpretations and wider room for appreciation, while retaining the ethnic nuances and constructive strengths contained within the traditional music itself.
The processing of traditional music, which has gained a positive response from both the Indonesian art community and the general public, has encouraged Kua Etnika to continue developing aesthetical explorations by discovering ethnic music with a modern approach. This is achieved through dialogues between different kinds of ethnic music or between ethnic music and (diatonic) western music. The different sound characters of each instrument are combined, while retaining the individual identity and strengths of each sound (instrument). In this way, the diversity of different instruments can be combined, and at times break free in improvisational sections. As such, the fusion of various instruments with different pitches and sound characters will produce a unique orchestration and interwoven sound, with a broader soundscape and dimensions.
The techniques and spiritual values used as a basic musical concept mean that playing a musical instrument is not merely a way of producing a sound, but also a way of expressing emotion within a form of musical expression. This is just one of many functions of ethnic/traditional music as a medium for developing a person’s spiritual values. From a technical angle, many ethnic musical instruments are percussion instruments, with only a small number of wind or string instruments. A good understanding of acoustics is needed when working with these sounds to create a new composition, as well as great care and sensitivity to sound, paying attention to the function and sound character of each instrument, in order to create the desired dimensions and lines of sound, since the diversity of pitches and sound characters has the potential to create a mess of unclear sounds piled up on top of each other.
This musical concept is the main theme of the music to be performed by the music group Kua Etnika, in which the growth of traditional values is represented through the language of music, providing new aesthetical values to traditional art, and reemerging with a new face in an ethnic nuance but without primordial ties. This concert will present a variety of atmospheres, created from a series of sounds based on the playing structures of ethnic music, ranging from contemplative stillness, inviting us to let go of our self consciousness, to glorious sounds enclosed within a frame of noble values. The music is played primarily on ethnic instruments, with the addition of a number of non-traditional instruments that are able to successfully combine with the pentatonic pitches of the traditional instruments. It is not only the beauty of the melody that affects our auditory sense of imagination. The strong rhythms also manage to arouse and stir up our emotions. This is what makes ethnic music so great – its ability to use intuition to touch and move our senses.
As a group, Kua Etnika allows room for each of its members to develop their creativity and musical ability. This creative work within a music group is based on a mutual awareness and commitment, in which each member is willing to give both tolerance and space for the development of creative ideas, in each endeavor to discover new forms with roots in ethnic music. Development activities on cultural thought are periodically carried out in the Jagongan Wagen forum through interactive dialogues and presentations of national and international artists.
The consistency and existence of Kua Etnika in responding to its music is realized in its productivity in creating new musical compositions for each concert performance, held annually. The achievement of the group so far is evident in the warm response shown by the community when Kua Etnika released the albums Orkes Sumpeg Nang Ning Nong (1997) and Ritus Swara (2000). In addition, music lovers from various circles attend each concerts given by Kua Etnika, including Orkes Sumpeg Nang Ning Nong in Jakarta and Yogyakarta (1997), JakJazz Festival in Jakarta (1997), Sketsa-Sketsa Bunyi I in Yogyakarta (1997), Musik Perkusi Kompi Susu in Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surakarta, Surabaya, and Malang (1998), Musik Perkusi Meja (Agak) Hijau in Jakarta (1999), Ethnovaganza Concert in Jakarta (1999), Mildcoustic Concert (1999), The Millenium Sacred Rhythm in Bali (2000), Ritus Swara in Bali, Jakarta, and Yogyakarta (2000), Sketsa-Sketsa Bunyi II in Yogyakarta and Jakarta (2000), Konser Musik Unen-Unen in Jakarta and Surakarta (2001). In October 2001, Kua Etnika was invited by the Akademi Kebangsaan Malaysia to give a workshop and performance of contemporary music at the Rentak dan Gerak (Rhythm & Movement) event. In 2002, Kua Etnika invited Kamrulbahri and Kiruba from Malaysia to collaborate, perform and produce album Many Skins One Rhythm, a program supported by a grant from Arts Network Asia. In 2003, Pata Master Jazz invited Kua Etnika to collaborate, perform and produce album Pata Java in Indonesia, a program supported by the Goethe Institute Indonesia. Kua Etnika was involved in another collaboration with Indonesian installation artists, presented in The Netherlands in December 2003. In 2004, they were included in a European tour entitled Everlasting Kretek Heritage. Other achievements are the success of the musical format developed by Kua Etnika for the electronic media (TV).
(Taken from: worldmusicindonesia.com)
KUAETNIKA
Sebuah komunitas seni
SANGGAR UNTUK PERTUMBUHAN
Jika anda menyaksikan pertunjukan Kelompok musik KUA ETNIKA dan kemudian anda terheran-heran kenapa mereka bisa kompak padahal tanpa berpedoman partitur, jawabannya sederhana: karena mereka – para pemusik itu – bekerja dengan hati yang satu. Pribadi-pribadi yang berkumpul di situ sudah lebur dalam pergumulan kreatif yang cukup lama, sehingga di antara mereka seperti ada “tali jiwa” yang selalu mengikatnya. Mereka memiliki perasaan yang sama, yaitu kepercayaan pada penjelajahan kreativitas atas dasar intuisi dengan mengutamakan “situasi mood” sebagai pedoman kreatif. Eksplorasi estetis musikal tidak berangkat dari sebuah disiplin baku, dari konvensi-konvensi yang terakui secara formal, melainkan dari kesadaran “mengolah apa yang ada, apa yang tersedia”. Ini tak ubahnya yang selalu mewarani proses olah cipta para seniman tradisional di Indonesia dalam melakukan kreasi-kreasi keseniannya. Bisa dimaklumi karena memang umumnya para pendukung komunitas ini lahir dan tumbuh dalam latar tradisi (Jawa dan Bali) yang kental. Dan itulah musik “kua etnika” garapan Djaduk Ferianto yang merupakan penggalian atas musik etnik dengan pendekatan modern. Komunitas Seni Kua Etnika memang sebuah sanggar. Didirikan antara lain oleh Djaduk Ferianto, Butet Kartaredjasa, dan Purwanto pada tahun 1995, sanggar ini merupakan medan interaksi dari sejumlah pekerja seni: pemusik, penyair dan pemain teater. Sejak awal tahun 80-an, secara temporal dan sporadis, para pendukung yang terhimpun di sini telah melakukan interaksi kreatif dalam berbagai kesempatan. Antara lain melalui Teater Gandrik, Padepokan Seni Bagong K, Komunitas Pak Kanjeng (1993-1995), dan Teater Paku. Setelah berproses dalam kelompok-kelompok kesenian itu, mereka semakin memantapkan diri sebagai sebuah kelompok kesenian yang solid. Sebagai sebuah komunitas mereka bergerak dalam satu niat yang sama, yaitu melakukan penjelajahan kreatif ulang-alik, antara kesenian tradisional dan kesenian modern; antara “eksplorasi bebas yang idealistik” dengan “eksplorasi pragmatis yang industrial”. Mereka meyakini bahwa dua kutub yang berseberangan itu, yang terkadang mengandung nilai-nilai yang bertentangan, pada satu momentum perlu disinergikan. Dipertemukan untuk dipetik manfaatnya. Karena itulah, sejak tahun 1997 komunitas ini memberanikan diri membangun sebuah sanggar seluas 600 meter persegi, di desa Kersan, Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan. Bantul, Yogyakarta, Indonesia. Di sanggar yang dibangun secara swadaya, yang akhirnya dilengkapi sebuah studio rekaman ini, kemudian tersambunglah proses budaya ulang-alik itu. Suatu saat mereka menjelajah dari satu konser ke konser lain di berbagai gedung kesenian serius. Tetapi, pada suatu kali, mereka tidak merasa merosot derajatnya karena harus melakukan pertunjukan mengiringi penyanyi pop di layar televisi, atau pun ke acara bersifat hiburan dalam aneka kemasan. Mereka menjadikan seni musik sebagai atmosfer kreatif. Dalam payung kelompok musik Kua Etnika mereka melakukan penggalian musik-musik etnik, perkusif dan memadukannya dengan instrument elektrik, seperti tampak dalam pertunjukan ke Eropa kali ini. Saat yang sama mereka juga menafsir kembali musik keroncong dalam semangat daur ulang sebagaimana tercermin dalam album musik Orkes Sinten Remen. Dengan model pendekatan ini musik keroncong tampil dalam kemasan yang lebih familier bagi generasi baru karena di dalamnya terkandung jazz, blues, rock’n roll, country dan ndangdut. Di kesempatan yang lain, dengan bendera Orkes Melayu Banter Banget, mereka pun menyentuh wilayah musik melayu yang kental sekali warna ndangdut-nya. Namun sanggar ini tak hanya menampung kegelisahan bermusik. Kegiatan berteater pun juga berproses di situ sebagaimana dilakukan Teater Gandrik, salah satu kelompok teater terkemuka di Indonesia. Juga kegiatan pengembangan pemikiran kebudayaan yang secara berkala dilakukan dalam forum Jagongan Wagen, baik berupa dialog interaktif maupun pementasan bagi seniman-seniman dari luar kota. Komunitas ini senantiasa ingin memberikan ruang pertumbuhan bagi anggota dan warganya yang memang berniat mengembangkan diri dalam olah kesenian.
LANDASAN KREATIF
Tapi kenapa mereka menggali musik etnik? Tentang hal ini bisa diterangkan bahwa dalam sejarahnya, khasanah musik etnik di Indonesia telah mampu diuji oleh waktu. Hal itu disebabkan antara lain oleh dua hal. Pertama, masing-masing memiliki kekhasan, kelebihan, kekuatan dan bahkan keagungannya sendiri. Dan kedua, oleh dukungan masyarakatnya. Akan tetapi, ketika nilai-nilai modernitas beserta produk budayanya (budaya massa/pop) menggelombang, dan bahkan mampu mendominasi budaya masyarakat, -- musik etnik di Indonesia pun tergeser ke wilayah pinggiran. Artinya, wilayah habitat musik etnik di Indonesia makin mengecil, begitu pula dengan jumlah pendukungnya. Berkat keliatan sikap budaya pendukungnya, musik etnik sampai kini tetap bertahan, meskipun menempati posisi pinggiran. Melihat kenyataan itu, mereka merasa perlu menciptakan revitalisasi musik etnik. Untuk itu, dibutuhkan terobosan budaya, terobosan kreatif dalam mengolah musik etnik, sehingga hasil olahan itu memiliki relevansi dan memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat modern. Upaya revitalisasi itu antara lain melalui pendekatan dan penafsiran yang berbeda (baru) dari yang selama ini ada. Itu artinya, mengolah musik etnik dengan sentuhan atau nafas modern, tanpa harus kehilangan spirit dasarnya/spirit tradisi. Dalam prakteknya, pola-pola irama tradisi dikembangkan semaksimal mungkin, sehingga diharapkan lahir “musik etnik alternatif”. Dasar keyakinan kerja kreatif itu ialah bahwa musik etnik di Indonesia, baik instrumen, melodi, maupun iramanya, senantiasa terbuka terhadap kemungkinan baru. Termasuk didalamnya upaya mendialogkan khasanah musik etnik dengan khasanah musik Barat, maupun mendialogkan antar musik etnik itu sendiri yang berasal dari daerah yang berbeda, misalnya musik etnik Bali dengan Jawa atau Sunda atau Minang. Dari berbagai rajutan dialog musikal itu diharapkan mampu melahirkan apa yang disebut “harmoni keindonesiaan”, tanpa melenyapkan karakter masing-masing musik etnik.
MENJALIN INTERAKSI
Bertolak dari kesadaran bahwa kesempatan belajar dan pengembangan diri tidak hanya diperoleh melalui bangku pendidikan formal, melainkan juga bisa didapat dari kesempatan berinteraksi dengan berbagai praktisi kesenian lainnya, maka komunitas ini senantiasa membuka diri untuk bekerjasama dalam penggarapan seni pertunjukan untuk panggung atau pun televisi. Baik sebagai pribadi maupun kelompok. Salah satu bentuk kolaborasi yang pernah dilakukan, misalnya, penggarapan acara musik di RCTI “Dua Warna” (1996-1997) di mana Djaduk bersama Aminoto Kosin dan Erwin Gutawa mencoba mempertemukan musik etnik dan elektrik pada lagu-lagu pop. Dan menggarap variety show “Pasar Rakyat 76” di televisi dengan menjadikan Orkes Sinten Remen sebagai pemusik utamanya. Selain itu, juga melakukan penggarapan musik untuk tari dengan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Eksotika Karmawibangga, Miroto and Dancers, Sentot Sudiarto; dengan Teater Koma dan Teater Gandrik: juga dengan para sineas Teguh Karya, Garin Nugroho, Slamet Rahardjo, Uci Supra, Nano Riantiarno, untuk pembuatan illustrasi musik film ataupun sinetron. Bahkan dalam perkembangannya komunitas ini melakukan kolaborasi kreatif bersama pemusik-pemusik manca negara, antara lain dengan para pemusik Malaysia yang menghasilkan konser “Many Skin”. Dan tahun 2003 lalu berproses dengan grup Pata Masters dari Jerman dan menghasilkan sebuah pertunjukan dan album “Pata Java”. Album-album musik itu melengkapi karya-karya sebelumnya yaitu: Nang-ning-nong Orkes Sumpeg, Ritus Swara dan Unen-Unen. Sejak akhir 90-an, tanpa segan komunitas seni Kuaetnika membuka pintunya bagi anak-anak muda, gerakan musik mereka, apapun bentuk musik dan potongan rambut mereka. Kuaetnika membuka diri pada berbagai selera musik anak muda ini bahkan sampai yang paling ekstrim. Shaggy Dog, Melancholic Bitch, Mock Me Not, Seek Six Sick, Cross Bottom, maupun anak-ank muda dari Yayasan Berkata-kata Cepat Yogyakarta (baca; Jogja Hip Hop Foundation), adalah beberapa dari nama-nama kelompok musik yang pernah, sempat, bahkan sebagian masih berproses di studio Kuaetnika. Para personil Kuaetnika terbiasa terlibat dalam percakapan panjang dengan anak-anak muda ini, untuk bertukar pikiran , gagasan, dan bahkan bertukar kegelisahan. Setali tiga uang dengan kegelisahan mereka untuk membuka diri pada berbagai sumber dan medium kreasi, mereka pun tampak tak pernah lelah mendatangi berbagai ruang komunikasi, menabrak pula seluruh fiksi tentang komunikasi. Mereka merambah dan mencairkan gedung-gedung pertunjukan yang kaku, sama bersemangatnya dengan acara-acara panggung terbuka di kampung-kampung dan di tengah pasar tradisional, atau berkolaborasi dengan musisi pop di acara tv. Ngamen di 5 kota di 5 negara Eropa di tahun 2004 disikapi sama seriusnya dengan ngamen di kota-kota pesisir utara pulau Jawa.
TRIE UTAMI
Awalnya, ia tak lekas menerima tawaran untuk menjadi vokalis dari sebuah kelompok jazz asal Bandung. “Menjadi penyanyi bukan cita-cita saya. Menjadi tokoh sentral tak menarik,” katanya. Kalau saja percakapan itu selesai di sana mungkin kita akan mengenalnya dengan cara yang berbeda. Kini, sulit mencari yang tak pernah mendengar suara vokalis kelahiran 8 januari 1968. di tahun 80-an, ia identik dengan Krakatau, band jazz yang sempat ditolaknya itu. Di tahun 90-an ia tampil bersama beberapa grup, selain menancapkan kukunya diantara penyanyi solo terdepan di Indonesia dan pula mendapatkan pengakuan dari berbagai festival dan kegiatan musik berskala internasional. Di paruh awal 2000-an ia mendapat gelar baru: Miss Pitch Control, seturut tag-line yang sering ia ucapkan beserta seluruh penampilannya yang dingin dan tajam dalam sebuah kompetisi vocal salah satu stasiun televisi. Pertemuannya dengan seni tradisi berlangsung sejak lama, bersamaan pertemuannya dengan seni modern. Di paruh 70-an bersamaan dengan studi piano klasik, ia belajar pula tari klasik Jawa dan Sunda. Di Krakatau, ia mendapatkan ruang eksplorasi mendalam yang mempertemukan musikalitas pentatonic dan diatonic. Sejak itu, pertemuan musik tradisi dan musik modern menjadi agenda yang setia dijalaninya. Sejak paruh kedua 90-an, setelah sempat terlibat sebagai vokalis di komunitas musik Nyi Kanjeng, ia mulai bekerja sama dengan komunitas Kuaetnika. Mula-mula ia menjadi vokalis tamu di proyek-proyek Orkes Sinten Remen dan Kuaetnika, mengisi beberapa komposisi dalam album dan pertunjukan mereka. Kini, ia adalah penyanyi utama Kuaetnika.
PEMUSIK KUAETNIKA
DJADUK FERIANTO
Yogyakarta, 19 Juli 1964 Fakultas Seni Rupa & Desain ISI –Yogyakarta Perkusi, Vokalis, Traditionil Flute
PURWANTO
Gunungkidul, 12 Januari 1967 ISI - Yogyakarta Bonang, Reong & Pamade
INDRA GUNAWAN
Medan, 23 April 1970 ISI - Yogyakarta Keyboard (Synthes)
I NYOMAN CAU ARSANA
Badung (Bali), 7 November 1971 ISI - Yogyakarta Reong, Pamade & Saron SUWARJIYA Sleman, 26 Maret 1863 UNY (IKIP Yogyakarta) Saron & Pamade AGUS
WAHYUDI
Yogyakarta, 17 Agustus 1975 UGM & ISI-Yogyakarta Keyboard
FAFAN ISFANDIAR
Malang, 1974 ISI Yogyakarta Biola
SUKOCO
Bantul, 16 September 1967 SMKI Yogyakarta Kendang & Reong
WARDOYO
Brebes, 1969 ISI Yogyakarta Kendang Sunda
PARDIMAN
Bantul, ISI Yogyakarta Bonang & Saron
I KETUT IDEP SUKAYANA
Bangli (Bali), ISI Denpasar Reong & Ugal
ADDITIONAL PEMUSIK KUAETNIKA
BENY FUAD HERAWAN
Bandung, 19 Desember 1976 ISI - Yogyakarta Drum
DHANNY ERIAWAN WIBOWO
Magelang, 1 Desember 1975 SMA Bass Guitar
ARIE SENJAYANTO
Semarang, 27 September 1973 USD-Yogyakarta Electrick & Acustik Guitar
SILIR PUJIWATI
Temanggung, 29 Mei 1975 ISI-Yogyakarta Vokal
JAJOEK SURATMO
Pontianak, USD-Yogyakarta Vokal
ALAMAT
Komunitas Seni Kuaetnika Studio & Workshop
Komplek Padepokan Seni Bagong Kussudihardja
Jln. Bibis Raya, Gg. Nusa Indah No. 146 Kembaran Rt 04/Rw 21, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183
Kontak Person:
•Butet Kartaredjasa
+62811 269 010
butet@indo.net.id
• Sony Suprapto
+62811 250 5429
sony@kuaetnika.com
sonysuprapto@yahoo.com
Website :
http://kuaetnika.com
Video :
Mission Impossible Cover
Gandekan
Performs at The Star Shell, Darwin Festival
Kupu Tarung
Denau
Mademenan
MP3 :
Djaduk Ferianto - Ndherek Dewi Maria
Djaduk Ferianto - Srengenge Nyunar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar