Minggu, 18 September 2011

Rudat / Terbang


Secara etimologis rincian istilah rudat belum di temukan secara jelas. Tapi menurut Iyus Rusmana istilah ini bisa di cari dari bahasa arab rudatun yang artinya taman bunga. Dalam hal ini berarti bunga nya pencak. Sedangkan menurut Enoch Atmibrata, rudat tarian merupakan tarian di iringi oleh musik terbangan di mana unsur tarian nya banyak kental dengan nuansa agama, seni bela diri, dan seni suarana .
Dalam penjelasan lain dikatakan bahwa rudat adalah sejenis kesenian tradisional yang semula tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren. Seni rudat merupakan seni gerak dan vokal di iringi tabuhan ritmis dari waditra sejenis terbang. Syair – syair yang terkandung dalam nyanyaian nya bernafaskan keagamaan, yaitu puja – puji yang mengagungkan Allah, Shalawat dan Rosul. Tujuannya adalah untuk menebalkan iman masyarakat terhadap Agama Islam dan kebesaran Allah. Sehingga manusia bisa bermoral tinggi berlandasan agama islam dengan mendekati diri kepada Allah SWT. Dengan demikian seni rudat adalah panduan seni gerak dan vokal yang di iringi musik terbangan di mana di dalam nya terdaapat unsur ke agamaan, seni tari dan seni suara .

FUNGSI
Petunjuk seni terbang ( termasuk rudat ) pada mulanya bertujuan untuk penyabaran agama islam yang di laksankan pada setiap acara mauludin, yaitu upacara memperingati hari lahir nya Nabi Muhammad SAW, Rajaban (memperingati isro mi’raj), Hari Raya Idul Fitri dan Hari besar Islam lainnya. Pada perkembangan berikutnya seni rudat biasa di pertunjukan dalam acara hiburan di lingkungan pesantren, upacara perkawinan atau khitanan. Seni rudat di Banten sudah ada sejak abad XVI sejak jaman Sultan Ageng Tirtayasa dan kemudian bekembang di pesantren – pesantren sebagai hiburan atau pergaulan para santri pada waktu senggangnya dengan nyanyian yang isinya memuji kebesraan allah swt sambil menari dengan gerak pencak silat . Tarian ini di lakukan oleh laki laki pada mulanya , tapi sekarang di Banten di lakukan oleh para wanita.

PEMAIN DAN WADITRA
Jumlah pemain rudat berkisar antara 12 sampai 24 orang mulai menabuh waditra/ alat sebagai penari dan sebagai penyanyi. Waditra yang di gunakan tersebut dari bahan - bahan yang ada di lingkungan jenis. Waditranya adalah berbentuk bulat seperti tampayan. Cara menggunakan alat ini dengan di pukul. Tojo, berbentuk bulat seperti tempalan , terbuat dari kayu dan kulit kerbau Cara menggunakan alat ini dengan di pukul – pukul sebagai pokok lagu atau melodi . Nganak, berbentuk bulat seperti temppayan , terbuat dari kayu dan kulit kerbau , memiliki ukuran muka dengan garis tengah 37 cm dan garis tengah belakang 27 cm. Jidor, berbentuk bulat seperti bedug , terbuat dari kayu dan kulit kerbau. Ukuran garis tengah belakangnya 44cm , dan tingginya 47cm.

POLA PERMAINAN
Dari segi geraknya rudat menggunakan gerakan silat , namun dalam rudat unsur tenaga tida banyak mempengaruhi. Lagu rudat hampir sebagian besar bernafaskan keagamaan. Sedangkan gerakannya terdiri dari gerakan kaki yang serempak ketika melangkah kedepan, belakang dan samping yang melambangkan kebersamaan langkah dan keserasian bentuk kareografi. Kaki, terdiri dari gerak kuda-kuda, adeg- adeg, masekon rengkuh, duku depok dan lain-lain. Tangan, terdiri dari gerak mengepel, tonjok, gibas meupeuh , keprok kepret . Kepala, mengikuti arah tangan yang bergerak yaitu ke seluruh arah. Beberapa gerakan antaralain yang dalam seni rudat antaralain gerakan nonjok , yaitu kaki kanan melangkah ke depan dengan posisi kuda-kuda dan tangan kiri mengepal sementar a kepala lurus ke depan. Gerakan gibas , yaitu kaki kanan tegak lurus. Tangn kiri menekuk dengan arah gerak ke kanan. Kepala ke arah kanan dan membalik langsung ke kiri.

BUSANA SENI RUDAT Dalam menyajikan kesenian rudat penari menggunakan kostum seragam yang menandakan bahwa mereka harus hidup rukun dengan tetangga. Ada pun bentuk kostumnya terdiri dari busan pria; Celana pangsi hitam , baju putih , selendang, kain samping batik , dan tutup kepala.

Diambil Dari buku kumpulan Seni dan Buday Banten; Dinas Pendidikan Provinsi Banten

Watch on Youtube
Rudat
Rudat Kuningan, Jawa Barat
 

Tarawangsa






Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Istilah "Tarawangsa" sendiri memiliki dua pengertian: (1) alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi dan (2) nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda.
Tarawangsa lebih tua keberadaannya daripada rebab, alat gesek yang lain. Naskah kuno Sewaka Darma dari awal abad ke-18 telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15—16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa biasa pula disebut dengan nama rebab jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa umumnya lebih tinggi daripada rebab.
Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain; sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kemudian, sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kecapi, yang disebut Jentreng.


Kesenian Tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Dalam kesenian Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian.

Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog. Demikian pula repertoarnya, misalnya tarawangsa di Rancakalong terdiri dari dua kelompok lagu, yakni lagu-lagu pokok dan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu tambahan, yang semua berlaraskan pelog. Lagu pokok terdiri dari lagu Pangemat/pangambat, Pangapungan, Pamapag, Panganginan, Panimang, Lalayaan dan Bangbalikan. Ketujuh lagu tersebut dianggap sebagai lagu pokok, karena merupakan kelompok lagu yang mula-mula diciptakan dan biasa digunakan secara sakral untuk mengundang Dewi Sri. Sedangkan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu yang tidak termasuk ke dalam lagu pokok terdiri dari Saur, Mataraman, Iring-iringan (Tonggeret), Jemplang, Limbangan, Bangun, Lalayaan, Karatonan, Degung, Sirnagalih, Buncis, Pangairan, Dengdo, Angin-angin, Reundeu, Pagelaran, Ayun Ambing, Reundeuh Reundang, Kembang Gadung, Onde, Legon (koromongan), dan Panglima.

Lagu-lagu Tarawangsa di Rancakalong jauh lebih banyak jumlahnya daripada lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran dan Cibalong. Lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran di antaranya terdiri dari Pangrajah, Panimang, Bajing Luncat, Pangapungan, Bojong Kaso, dan Cukleuk. Sementara lagu-lagu Tarawangsa di Cibalong di antaranya terdiri dari Salancar, Ayun, Cipinangan, Mulang, Manuk Hejo, Kang Kiai, Aleuy, dan Pangungsi.

Sebagaimana telah disinggung di atas, alat musik pokok kesenian tarawangsa terdiri dari tarawangsa dan jentreng. Menurut sistem klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel, Tarawangsa diklasifikasikan sebagai Chordophone, sub klasifikasi neck-lute, dan Jentreng diklasifikasikan juga sebagai Chordophone, sub klasifikasi zither. Sedangkan menurut cara memainkannya, tarawangsa diklasifikasikan sebagai alat gesek dan jentreng diklasifikasi sebagai alat petik. Alat musik tarawangsa terbuat dari kayu kenanga, jengkol, dadap, dan kemiri. Dalam ensambel, tarawangsa berfungsi sebagai pembawa melodi (memainkan lagu), sedangkan jentreng berfungsi sebagai pengiring (mengiringi lagu).

Pemain tarawangsa hanya terdiri dari dua orang, yaitu satu orang pemain tarawangsa dan satu orang pemain jentreng. Semua Pemain Tarawangsa terdiri dari laki-laki, dengan usia rata-rata 50 – 60 tahunan. Mereka semuanya adalah petani, dan biasanya disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Dalam pertunjukannya ini biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka menari secara teratur. Mula-mula Saehu/Saman (laki-laki), disusul para penari perempuan. Mereka bertugas ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan para leluhur. Kemudian hadirin yang ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Tarian tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang dilakukan Saehu dan penari perempuan yang merupakan simbol penghormatan bagi dewi padi. Menari dalam kesenian Tarawangsa bukan hanya merupakan gerak fisik semata-mata, melainkan sangat berkaitan dengan hal-hal metafisik sesuai dengan kepercayaan si penari. Oleh karena itu tidak heran apabila para penari sering mengalami trance (tidak sadarkan diri).

Tarawangsa Rancakalong Sumedang - Sirna galih.mp3
Kidung

Sumber:Wikipedia

Selasa, 06 September 2011

Jaipongan Cicih Cangkurileung - Ngolembar (1993)


Jaipongan Cicih Cangkurileung - Ngolembar
Produksi : Gita MTR Records
Tahun: 1993
Group : Cicih Cangkurileung Group
Musisi : Cicih Cangkurileung, Mang Eye Darya (alok), Uloh Abdullah (Rebab), Ujang Be'i (Kendang)

Tracklist:

Ngolembar II,
Jamparing Asih II,
Gandrung Jaipong,
Samping Hejo,
Sinur,
Baju Beureum,
Panghudang Rasa,
Ngumbar Lamunan II

No link, sorry