Minggu, 13 Februari 2011

Jaipongan - Tepung Di Luhur Panggung

Jaipongan - Tepung Di Luhur Panggung

Pangrawit Group
Pimp: Atang Wasita
Sinden: Idjah Hadidjah
Wiraswara: Mang Samin
Kendang: Suwanda


1 TEPUNG DI LUHUR PANGGUNG
2 SOLENDANG MAYANG
3 LEANG-LEANG
4 ASIH KAWIRI
5 SEKAR LUMIAR
6 TONGGERET
7 UDAN MAS NAEK KULU-KULU BARANG
8 SINUR

Thanks To Madrotter

Tarling Klasik Primadona


Tarling Klasik Primadona "Godong Cipir"

Pimp: Pepen Effendi
Sinden : Hj. Itih S.

1. Godong Cipir
2. Solo Di Waktu Malam
3. Renggong Manis
4. Renggong Wayang
5. Kiser Saidah
6. Barlen

Selasa, 08 Februari 2011

Daun Pulus Keser Bojong


Album ini cukup fenomenal karena pada album ini untuk pertama kali Jaipongan diperkenalkan oleh Gugum Gumbira.

Track list :
Daun Pulus
Kidung
Istri Tumarima
Kajaksan
waledan
Geseh
Awet rajet
Bendrong


Jaipongan

Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan.
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.
Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.

Perkembangan
Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).
Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).
Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan Asep.
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni


                                                     Gugum Gumbira, kreator Jaipongan

( Dikutip dari Wikipedia ) 

Video Jaipongan :
Daun Pulus 16 
Daun Pulus Keser Bojong
Ketuk Tilu
Sulanjana

Nining Meida - Kalangkang

01. Kalangkang
02. Potret Manehna
03. Anjeun
04. Mojang Priangan
05. Tisaprak
06. Ka Bulan
07. Es Lilin
08. Brondong Garing
09. Peuyeum Bandung
10. Sorban Palid
11. Ngalamun
12. Rame Rame

Sabtu, 05 Februari 2011

Macapat

Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu.Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali, Sasak, Madura, dan Sunda. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin. Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula. Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru, pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat.. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi' saja. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.
Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Macapat digolongkan kepada kepada kategori tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya di masa Mataram Baru, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek. Di sisi lain tembang tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.
Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada bahasa Sanskerta, dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.

Etimologi

Pada umumnya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula. Seorang pakar Sastra Jawa, Arps menguraikan beberapa arti-arti lainnya di dalam bukunya Tembang in two traditions.
Selain yang telah disebut di atas ini, arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritis (sandhangan) dalam aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.
Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah "melagukan nada keempat".Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu. Konon maca-sa termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri. Ternyata ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé. Maca-ro termasuk tipe tembang gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara. Maca-tri atau kategori yang ketiga adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya. Dan akhirnya, macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Benang dan diturunkan kepada semua wali.

Sejarah macapat

Secara umum diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul Kidung Ranggalawé dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi. Namun di sisi lain, tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih mutakhir dan semua naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali.
Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan kakawin, mana yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara. Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul setelah pengaruh India semakin pudar.

Struktur macapat

Sebuah karya sastra macapat biasany dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada. Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.
Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula.
Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan. Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.

Jenis metrum macapat

Jumlah metrum baku macapat ada limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Kategori tembang cilik memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum dan tembang gedhé satu metrum.

Tabel macapat

Supaya lebih mudah membedakan antara guru gatra, guru wilangan lan guru lagu dari tembang-tembang tadi, maka setiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti di bawah ini:
Metrum
Gatra

I

II

III

IV

V

VI

VII

VIII

IX

X
Tembang cilik / Sekar alit
Dhandhanggula
10
10i 10a 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a
Maskumambang
4
12i 6a 8i 8a





Sinom
9
8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a
Kinanthi
6
8u 8i 8a 8i 8a 8i



Asmarandana
7
8a 8i 8a 7a 8u 8a


Durma
7
12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i


Pangkur
7
8a 11i 8u 7a 12u 8a 8i


Mijil
6
10i 6o 10é 10i 6i 6u



Pocung
4
12u 6a 8i 12a





Tembang tengahan / Sekar madya
Jurudhemung
7
8a 8u 8u 8a 8u 8a 8u


Wirangrong
6
8i 8o 10u 6i 7a 8a



Balabak
6
12a 12a 12u



Gambuh
5
7u 10u 12i 8u 8o




Megatruh
5
12u 8i 8u 8i 8o




Tembang gedhé / Sekar ageng
Girisa
8
8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a

 Contoh penggunaan metrum macapat

Di bawah ini disajikan contoh-contoh penggunaan setiap metrum macapat dalam bahasa Jawa beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dijelaskan pula tokoh penciptanya menurut legenda dan watak setiap metrum

Dhandhanggula

Dhandhanggula adalah sebuah metrum yang memiliki watak luwes. Metrum ini diatribusikan kepada Sunan Kalijaga.
Contoh (Serat Jayalengkara):
Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
Prajêng Medhang Kamulan winarni, Diceritakan mengenai kerajaan Medhang Kamulan,
narèndrâdi Sri Jayalengkara, ketika sang raja agung Sri Jayalengkara
kang jumeneng nrepatiné, yang bertahta sebagai raja
ambek santa budy alus, memiliki pikiran tenang dan berbudi halus
nata dibya putus ing niti, raja utama pandai dalam ilmu politik
asih ing wadya tantra, mengasihi para bala tentara
paramartêng wadu, sayang terhadap para wanita
widagdêng mring kasudiran, teguh terhadap jiwa kepahlawanan
sida sedya putus ing agal lan alit, berhasil dalam berkarya secara lahiriah maupun batiniah
tan kènger ing aksara. tidak terpengaruh sihir.

Maskumambang

Sinom

pangéran Panggung saksana,
anyangking daluwang mangsi,
dènira manjing dahana,
alungguh sajroning geni,
éca sarwi nenulis,
ing jero pawaka murub.

Asmaradana

Kinanthi

Metrum Kinanthi ini memiliki watak gandrung dan piwulang. Metrum ini konon diciptakan oleh Sultan Adi Erucakra.
Contoh (Serat Rama gubahan Yasadipura):
Anoman malumpat sampun,
praptêng witing nagasari,
mulat mangandhap katingal,
wanodyâyu kuru aking,
gelung rusak awor kisma,
ingkang iga-iga kêksi.

Pangkur

”Pangkur” berasal dari kata “mungkur” (mundur) yang berarti sudah memundurkan semua hawa napsunya, yang dipikirkan hanya berdarma kepada sesama mahluk Dari kata mungkur atau mundur. disini dilambangkan orang yang sudah tua. dan di harapkan dari tembang pangkur adalah menahan nafsu dan keinginan-keinginan dan memperbanyak ibadah. Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang (mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia renta yang hina dina sudah tak berguna. Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit tua Siang malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa. Hidup enggan mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji. Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang.

Durma

Mijil

Pocung

Jurudemung

Wirangrong

Balabak

Gambuh

Megatruh

Girisa

Metrum ini memiliki watak megah (mrebawani). Metrum ini diambil dari metrum kakawin dengan nama yang sama

(Dikutip dari Wikipedia) 


Mp3 Macapat :
Kinanti 01
Kinanti02
Durma 01 
Durma 02
Pocung 01
Megatruh 01
Mijil 01
Gambuh 01 
Gambuh 02
Gambuh 03 
Dhandhang Gula 01
Dhandang Gula 02
Sinom 01 
Pangkur01




 

Jumat, 04 Februari 2011

Ida Widawati

Ida Widawati (lahir di Garut, Jawa Barat, 7 Januari 1956; umur 55 tahun) adalah penyanyi degung berkebangsaan Indonesia. Ia lahir dari keluarga seniman, sehingga bakat seninya tumbuh dan terasah baik. Sejak usia 5 tahun, ia belajar dengan Ibu Sumekar, salah satu kerabat ayahnya.
Ida lulus SMP tahun 1965, SMA di tahun 1968 serta Fakultas Sastra Jurusan Antropologi Universitas Pajajaran, Bandung, berhenti di tingkat III).
Ida Widawati memulai karier bermusiknya pada tahun 1973 di kaset. Ia telah menelurkan 20 kaset. Ia terkenal sebagai penyanyi dan pimpinan ensembel Lingkung Seni Malati. Penampilan luar negeri pertamanya terjadi pada tahun 1974, atas undangan dari Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT) di Amsterdam. Kemudian, Lingkung Seni Malati muncul juga di negara lain, seperti Perancis, Jerman, Belgia, Swiss, Norwegia, dan Swedia. Penerobosannya tiba di tahun 1994, ketika CD pertunjukan livenya beredar di Perancis. Salah satu CD terkenalnya adalah Udan Mas dari tahun 1998.
Ida telah memenangkan sejumlah penghargaan:
  1. Juara I Pasanggiri Tembang Sunda SLTP se-Jawa Barat
  2. Juara I Pasanggiri Tembang Sunda Damas (1962)
  3. Juara II Pasanggiri Tembang Sunda Damas (1974)
  4. Juara I Tembang Sunda Saodah Cup (1974 dan 1976)
(Dikutip dari Wikipedia) 


beberapa album Ida Widawati :

Ida Widawati - Arum Bandung 

1. Aha - Ehe 
2. Sieun Leungiteun
3. Senggot
4. Angin-angin
5. Arum Bandung
6. Kembang Asih
7. Reumbeuy Bandung
8. Kiceup Bentang


Ida Widawati - Degung Imut

1. Imut Nu Ngajalanan
2. Layung Setra
3. Imut
4. Padayungan
5. Renggong Buyut
6. Sulanjana
7. Hareupeun Kaca
8. Reueus
 


 





Degung Kawih Tawis Asih

1. Tilam Sono II
2. Tawis Asih
3. Tepang Deui
4. Pegat Duriat
5. Kembang Bugur
6. Padayungan
7. Anggangna Kamelang
8. Mega Sutra 

  Degung Klasik Boa-Boa
Degung Klasik



Degung Instrumental Karya Emas Mang Koko

Karya Emas MANG KOKO Degung Instrumental



Mang Koko – Anggrek Japati
Mang Koko – Bulan Langlayangan Peuting
Mang Koko – Hamdan
Mang Koko – Hareupeun Kaca
Mang Koko – Hariring Nu Kungsi Nyanding
Mang Koko – Kembang Impian
Mang Koko – Kembang Tanjung Panineungan
Mang Koko – Ngalamun
Mang Koko – Peuting Panghareupan
Mang Koko – Reumis Beureum
Mang Koko – Sagagang Kembang Eros
Mang Koko – Salempai Sutra

Kamis, 03 Februari 2011

Upit Sarimanah - Gamelan Degung Siliwangi

1 SUNDA MEKAR
2 BEBER LAJAR
3 DJIPANG
4 LADRAK
5 KINTEL BUEUK
6 MAJASELAS
7 KADEWAN
8 DUDA

Download